Judul Buku : Manusia Langit
Penulis : JA Sonjaya
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : 2010
Isi : vii + 210 Halaman
ISSBN : 978-979-709-523-9
Harga : Rp. 38.000,-
Penulis : JA Sonjaya
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : 2010
Isi : vii + 210 Halaman
ISSBN : 978-979-709-523-9
Harga : Rp. 38.000,-
Mahendra, arkeolog muda dari kampus ternama di Yogyakarta sedang galau karena Yasmin, kekasihnya, bunuh diri. Muncul niatan di dalam hatinya untuk mencari dunia baru agar ia bisa melupakan kegalauan itu. Pada mulanya ia menjadi relawan gempa bumi Nias tahun 2005. Tapi setelah mendengar mitos manusia langit di kampung Banuaha, sebuah desa terpencil di Pulau Nias, naluri khas arkeolognya muncul. Ia pun meluncur ke desa yang diyakini oleh orang Nias sebagai tempat turunnya manusia dari langit itu.
Sesampainya di sana, ia diterima baik oleh Ama Budi, tetua kampung itu. Perlahan, Mahendra dapat melupakan Yasmin. Terlebih lagi, di sana ia jatuh cinta pada gadis Banuaha, Saita. Tapi cinta itu juga kandas karena Saita telah “dibeli” oleh pemuda setempat. Akhirnya Mahendra berlayar pulang mengarungi Laut Sibolga. Di tengah laut, ombak menerpa kapal yang ditumpanginya. Kapal itu pecah. Mahendra mati setelah bertempur dengan lelah dan lapar dalam beberapa hari. Di akhir cerita, baru terkuak bahwa Yasmin masih hidup!
Membaca sejarah
Sebagian besar kisah di novel ini adalah pemaparan hasil penelitian arkeologi yang –sepertinya- ditempuh oleh penulis, JA Sonjaya. Jadi, kisah kegetiran cinta tokoh utamanya, Mahendra, kiranya dapat dianggap hanya pemanis cerita saja. Apalagi sejak bab pembuka, Mahendra sudah masuk ke alam pikiran pembaca sebagai ekskavator sebuah situs sejarah yang diperkirakan sebagai tempat pemukiman awal para leluhur orang Banuaha. Dari sanalah, melalui Mahendra yang menganalisis benda-benda atau artefak kuno, penulis mengajak kita untuk memakrifati masa lalu orang Banuaha.
Hasilnya, ia seolah meniupkan ruh ke dalam setiap benda. Misalnya sebuah periuk kuno yang bagi orang Banuaha menyimbolkan rahim seorang ibu. Tak pelak, benda itupun tiba-tiba “membicarakan” riwayat termenyayat orang Banuaha. Rupanya, periuk itu adalah saksi tradisi mengubur bayi secara hidup-hidup yang lazim dilakukan oleh Suku Belada, para pendahulu orang Banuaha. Bagi suku yang menggantungkan hidup mereka pada tradisi berburu itu, membunuh bayi adalah pilihan agar rutinitas ekonomi dan tradisi nomadensi mereka tak terinterupsi. Untuk menutupi realitas yang terkesan biadab itu, mereka pun menghidupkan cerita lisan tentang roh halus pemakan bayi.
Nah, tatkala Mahendra mengutarakan hasil temuan itu kepada Ama Budi, seperti dikisahkan di sini, tiba-tiba lelaki tua itu membuka peti dosa-dosanya. Dengan lidah terbata-bata, ia mengatakan bahwa sekitar tahun 1980-an ia dan hampir semua kepala keluarga segenerasinya pernah berbuat demikian. Karena pada waktu itu populasi orang Banuaha yang hidup dengan cara berladang sedang meningkat. Ini tidak sebanding dengan ketersediaan lahan garapan. Di sisi lain, hutan telah banyak yang dirambah oleh para pendatang.
Parahnya, pemerintah pun tak cukup responsif pada perubahan sosial ini. Maka mereka terpaksa meniru tradisi membunuh bayi ala Suku Belada itu. Dengan berbuat demikian, mereka percaya bahwa setiap bayi yang mereka bunuh akan kembali ke langit, asal leluhur mereka. “Lebih baik bayi itu cepat dikembalikan ke langit daripada nanti mereka hidup berlumur dosa seperti orang tuanya. Karena orang berdosa belum tentu bisa kembali ke langit” (hal. 24), begitu Ama Budi mengetengahkan apologi filosofisnya kepada Mahendra.
Siapa manusia langit?
Selain sebagai identitas etnik orang Nias, mitos manusia langit dihadirkan penulis sebagai himbauan agar ia tak dipandang sebagai ketahayulan. Sebab semua mitos adalah dokumen sosial masyarakat pada zamannya. Di dalamnya tersimpan warisan pemikiran, gagasan, gerak sosial, hingga corak kehidupan ekonomi masyarakat pemilik mitos itu. Ini menandakan bahwa mitos tak akan tersusun rapi jika bukan merupakan serapan sosial atas gerak sejarah yang terjadi pada waktu itu.
Dalam penelusurannya, penulis menemukan historisitas mitos manusia langit berikut hubungannya dengan kampung Banuaha yang merupakan singkatan dari Banua (Kampung) Niha (Manusia). Dalam satu satu hoho atau pantun tradisional orang Nias, disebutkan bahwa Sirao, leluhur orang Nias, diturunkan dari negeri di atas awan. Negeri itu dalam bahasa Nias disebut tete holi ana’a. Sirao adalah anak hasil perkawinan dua angin di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angin tersebut sama seperti kehamilan manusia. Lalu apa makna mitos ini?
Pertama, bagi masyarakat Banuaha, mitos yang mengingatkan pada asal-mula mereka ini berfungsi sebagai kontrol sosial. Bahwa asal leluhur mereka adalah dari langit. Sebab turunnya para leluhur itu karena mereka tidak nyaman hidup tanpa nafsu di langit. Mereka harus turun ke bumi. Agar mereka dapat merasakan hidup yang sempurna demi menjadi manusia yang sesungguhnya. Karena itu, kini, sebagai anak-cucu manusia langit, mereka harus berbuat baik selama hidup di bumi agar bisa kembali ke langit (hlm. 110-112).
Kedua, dalam konteks kekinian, mitos manusia langit tak lebih merupakan sindiran orang Banuaha pada kenestapaan manusia di abad ini. Dalam konteks ini, manusia langit adalah para akademisi, birokrat, dan para penentu kebijakan di negeri ini yang abai untuk turun ke desa-desa. Akibatnya, kehidupan masyarakat, terutama di desa terpencil seperti Banuaha, nyaris tak pernah tersentuh sekutilpun oleh kebijakan yang mereka putuskan.
Bila sudah tersentuh, kebijakan itu malah menghadirkan kemudaratan bagi orang-orang di desa. Misalnya, kewajiban untuk berolahraga setiap Sabtu yang dikenakan pada siswa SMP di sana. Padahal setiap hari para siswa itu telah berolahraga setiap kali ketika mereka pergi ke sekolah dengan berjalan kaki naik-turun bukit berkilo-kilometer. Tak hanya itu, mereka juga harus merasakan pahitnya ketaklulusan Ujian Nasional karena mereka tak mampu menjawab soal-soal ujian berstandar “langit jakarta” (hal. 108).
Berbau sinetron
Bagi saya, sebagai novel beraura kisah cinta, buku ini tak dapat diandalkan. Tapi sebagai novel etnografis yang tentu belum banyak tandingannya, ia layak untuk diapresiasi. Terutama sebagai kabar bagi manusia langit seperti kita yang terlalu silau pada modernitas. Sehingga kita menjadi makhluk yang tak cakap menjaga eksotika alam, tradisi, dan budaya nusantara. Tak heran, suku-suku yang ada di pedalaman nusantara, yang sehari-harinya masih berkutat dengan lokalitas dan kesederhanaannya, kerap menjadi korban ketamakan kita.
Hanya saja, karena novel ini berangkat dari penelitian etnografi, beberapa kutipan mengenai metodologi penelitian bidang terkit tidak memiliki catatan kaki. Padahal hal itu penting untuk disebutkan. Karena penulis sedang membicarakan standar asasi dalam penelitian ilmiah. Dari segi cerita, pengungkapan akhir hidup Mahendra yang tenggelam di laut agak berbau sinetron. Seperti halnya juga cerita tentang jatuh cintanya Mahendra pada Saita secara tiba-tiba tanpa ada banyak interaksi antara keduanya. Tapi novel ini tetap enak dibaca. Mengingat ungkapan kebahasaannya yang tak terlalu “bersastra”.
Yasser Asturanawa
Penulis adalah penikmat buku. Tinggal di Yogyakarta.
sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/09/29/285/508483/nestapa-manusia-langit
Anda sedang membaca artikel tentang Nestapa Manusia Langit dan anda bisa menemukan artikel Nestapa Manusia Langit ini dengan url https://dwiwahyufebrianto.blogspot.com/2011/10/nestapa-manusia-langit.html, Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Nestapa Manusia Langit ini sangat bermanfaat bagi teman-teman Anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link postingan Nestapa Manusia Langit sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar