Judul Buku : Pak Kalla dan Presidennya
Penulis : Wisnu Nugroho
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2011
Tebal : xviii + 204 halaman
Penulis : Wisnu Nugroho
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2011
Tebal : xviii + 204 halaman
Buya Syafii Maarif pernah berujar bahwa Pak Kalla (Jusuf Kalla) merupakan ‘the real President’. Ujaran Buya sendiri mungkin disandarkan pada sosok Pak Kalla yang tampil dengan berbagai gebrakan serta inovasinya. Apalagi, Pak Kalla selama ini tampak dengan sikap cepatnya dalam mengambil keputusan tanpa banyak mengulur-ulur waktu dan terlalu lama dalam menimbang.
Tak heran jika kemudian ‘tim hore’ Pak Kalla mengusung jargon ‘Lebih Cepat, Lebih Baik’ dalam kampanyenya tahun 2009 silam. Namun, sanjungan Buya tersebut ditanggapi dengan gaya santai khas Pak Kalla: “Saya adalah ‘the real Vice President’.”
Wisnu Nugroho yang telah meluncurkan buku Tetralogi Sisi Lain SBY, kini berfokus bercerita mengenai sisi lain dari Pak Kalla. Seperti ciri khas buku tentang Pak Beye, buku yang berjudul ‘Pak Kalla dan Presidennya ini disusupi oleh informasi yang ‘tak begitu penting’ yang patut untuk diketahui oleh masyarakat. Setidaknya ‘tidak penting’ untuk ukuran penulis buku sendiri.
Hal ‘kurang penting’ yang tersaji dalam buku ini adalah ketika membicarakan soal ballpoint-nya Pak Kalla. Dalam berbagai sesi dialog, Pak Kalla sering membawa notes dan ballpoint untuk menampung pertanyaan dari audien. Menariknya, ballpoint yang digunakan Pak Kalla bukanlah ballpoint mewah buatan luar negeri yang sering dikoleksi para elite negeri ini. Ballpoint Pak Kalla adalah ballpoint yang sudah terlalu lazim dipakai oleh semua kalangan karena saking terjangkau harganya.
Gaya hidup Pak Kalla yang sederhana juga tergambar dari sepatu yang ia sering kenakan. Pada salah satu sesi acara kampanye di hadapan pengurus Kadin Medan, Pak Kalla dihadiahi sepasang sepatu asli buatan A.S. Bukan sepatu buatan Amerika Serikat, melainkan buatan Ajo Sukarame. Sepatu yang made in dalam negeri itu selaras dengan sepatu yang selalu digunakan Pak Kalla dalam aktifitasnya yang sama-sama buatan bangsa sendiri meskipun beda merek tentunya.
Ironisnya, gaya hidup Pak Kalla tersebut ternyata tidak diikuti pengurus Kadin Medan yang ternyata sepatunya buatan luar negeri. Sepertinya juga, fakta yang sama juga dialami oleh mayoritas elite negeri ini yang gemar mengoleksi sepatu produk asing.
Kesederhanaan Pak Kalla juga tergambar dari aktifitas kampanyenya beberapa tahun silam. Kalau lawan kampanye Pak Kalla (SBY-Boediono) sering menggunakan artis papan atas untuk menghibur pendukungnya, maka Pak Kalla lebih sering menggunakan artis tanggung-begitu istilah yang dibuat oleh penulis buku. Artis tanggung adalah artis-artis hasil jebolan audisi-audisi menyanyi. Tentu hal tersebut akan berdampak secara langsung bagi pengeluaran yang lebih hemat dibanding harus menggunakan artis-artis papan atas. Toh, esensinya sama: sama-sama bisa menghibur.
Di usia 67 tahun saat bulan Mei 2009 silam lalu, Pak Kalla yang menyandang jabatan sebagai wakil presiden serta pengusaha yang tentunya menguras banyak pikiran serta energi tampak terlihat selalu bugar. Jadwal kampanyenya yang begitu padat serta melelahkan karena harus menyusuri dari satu wilayah dengan wilayah lain tidak membuat stamina Pak Kalla turun.
Tentu, untuk seusia Pak Kalla rasanya begitu mengherankan melihatnya yang selalu sehat. Sampai-sampai dokter kewapresan dibuat geleng-geleng kepala melihat kondisi Pak Kalla yang masih prima mengalahkan stamina anak muda.
Ternyata, rahasia Pak Kalla bukan dengan mengonsumsi vitamin atau suplemen, karena beliau memang tidak gemar mengonsumsi keduanya. Resep Pak Kalla hanya dengan istirahat secara cukup terutama di waktu malam hari. Menurut dokter kewapresan, Pak Kalla juga tahu membatasi diri untuk setiap makanan penggugah selera yang terhidang untuknya (hal 152).
Maka tak heran jika Pak Kalla pernah mengatakan bahwa berat badannya selalu terjaga di angka 63 kilogram serta ukuran celananya tidak lebih dari 32 yang ternyata mampu bertahan selama 25 tahun. Soal penyikapan atas hidup, Pak Kalla selalu berujar: nikmati saja yang ada.
Meskipun sudah tidak menjadi wapres, Pak Kalla tetaplah seperti dulu: dengan kesederhanaan dan kecekatannya. Tampil penuh terobosan serta ide-ide segar. Berani mengambil keputusan yang sarat akan risiko besar. Paling tidak, hal itu tergambar untuk saat ini ketika beliau menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Nah, hal yang dirasa ‘penting’ dalam buku yang terbagi menjadi empat bab ini adalah peranan Pak Kalla dalam mendampingi Pak Beye. Tugas seorang wapres bukanlah ibarat ban cadangan yang tidak begitu berfungsi secara maksimal. Namun, ditangan Pak Kalla, rasanya fungsi wakil presiden berperan layaknya ban mobil sebelah kiri yang bersama-sama dengan ban sebelah kanan (presiden) untuk bekerja sama dalam menghadapi terjalnya masalah bangsa kala itu.
Muhammad Itsbatun Najih
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Anda sedang membaca artikel tentang Pak Kalla, Ballpoint, dan Ban Mobil dan anda bisa menemukan artikel Pak Kalla, Ballpoint, dan Ban Mobil ini dengan url https://dwiwahyufebrianto.blogspot.com/2011/08/pak-kalla-ballpoint-dan-ban-mobil.html, Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pak Kalla, Ballpoint, dan Ban Mobil ini sangat bermanfaat bagi teman-teman Anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link postingan Pak Kalla, Ballpoint, dan Ban Mobil sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar