Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Konflik dan (Re)Orientasi Desentralisasi

Written By peb bryant on Kamis, 11 Agustus 2011 | 09.08

Judul Buku : Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru
Editor : Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail
Penerbit : Grasindo (Kompas Gramedia), Jakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : 222 Halaman

Dalam catatan sejarah, Soeharto dan Orde Baru memperoleh kekuasaan pada tahun 1965 melalui sebuah coup d’etat (kudeta). Meskipun ia merupakan seorang pemimpin yang benevolent, namun ia juga merupakan sosok pemimpin otoriter yang meyakini bahwa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi dapat mempertahankan kekuasaannya.

Dalam rentang 30 tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, Soeharto telah cukup mampu membentuk suatu struktur mapan yang cukup kokoh di berbagai lini kehidupan—sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang lain—sehingga lengsernya Soeharto tidak serta merta berarti runtuhnya sistem itu. Sebaliknya, pada titik tertentu, berakhirnya rezim Orde Baru juga ternyata menyisakan masalah pelik bagi era pemerintahan selanjutnya. Salah satu masalah yang mencuat ke permukaan adalah terkait implementasi kebijakan desentralisasi yang ternyata turut melahirkan benturan-benturan budaya di kalangan masyarakat.

Secara umum, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka NKRI. Dengan adanya desentralisasi, diharapkan akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara, sehingga daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, wacana dan aksi desentralisasi sebagai produk warisan rezim Orde Baru ini terus mengalami perkembangan, merambah ke berbagai wilayah kajian.

Buku ini mencoba membaca sisi kelabu dari rekam jejak sejarah proses desentralisasi yang bergulir sejak kejatuhan rezim Orde Baru, dengan memerhatikan lebih jauh cara cara kelompok-kelompok masyarakat mempersoalkan dan menegaskan keberadaan diri mereka melalui interaksi antara proses dan instrumen hukum dengan diskursus agama dan adat dalam perubahan situasi politik akhir-akhir ini.
Dengan kata lain, buku ini tidak mempersoalkan atau menganalisa konsep desentralisasi tersebut, tetapi mencoba untuk meninjau lebih jauh beberapa proses sosial, kultural, dan legal yang dibentuk oleh dinamika desentralisasi dan cara masyarakat terlibat dalam dinamika itu melalui penafsiran kembali lembaga, instrumen, dan norma hukum yang bersifat plural.

Akar Konflik


Salah satu aspek yang menonjol dalam dinamika desentralisasi di Indonesia adalah merebaknya konflik yang berakar pada identitas kelompok. Hingga saat ini, kajian tentang konflik di Indonesia banyak yang berawal dari pandangan esensialis tentang identitas, yaitu pandangan yang menganggap bahwa sebuah konflik merebak karena ‘diakibatkan’ atau dipengaruhi oleh identitas kelompok yang berbeda.

Namun, kajian dalam buku ini menunjukkan bahwa ternyata identitas kelompok bukanlah satu-satunya penyebab dari setiap konflik yang selama ini terjadi. Kasus kelompok etnik Minangkabau adalah salah satu contohnya. Berbeda dengan daerah-daerah lain, masalah terbesar masyarakat dalam menerima desentralisasi bukan disebabkan karena pendefinisian kembali batas-batas etnik dan religius dalam hubungannya dengan kelompok lain. sebaliknya, masalah berkaitan dengan ketidaksepakatan di dalam masyarakat Minangkabau tentang identitas kolektif mereka.

Identitas Minangkabau selalu beragam, bersifat tidak pasti, dan selalu dipersoalkan. Percampuran identifikasi orang Minangkabau dengan negara Indonesia, Islam, dan adat secara teratur diwujudkan dalam pepatah yang mengatakan bahwa identitas Minangkabau terdiri dari tali tigo sapilin atau tungku tigo sajarangan, yang merujuk pada tiga macam otoritas yang dipersatukan secara damai. Sementara hubungan antara adat dan Islam ditujukan oleh pepatah “adat bersendi syariah, dan syariah bersendi Qur’an” (adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah) (hlm. 17)

Selain faktor di atas, konflik identitas etnis dan religius yang terjadi dalam rentang implementasi kebijakan desentralisasi pasca-Orde Baru disinyalir juga muncul karena perbedaan penafsiran tentang makna label sosial, garis kekerabatan, dan penafsiran tentang posisi seseorang atau kelompok dalam struktur adat.

Etika Dunia Baru

Di tengah semakin merebaknya konflik di negeri ini, sudah saatnya bagi bangsa ini untuk turut mengumandangkan kembali peran etika dalam suatu masyarakat dan dunia baru. Leonardo Boff, menggarisbawahi pentingnya perwujudan etika planetarian dalam masyarakat yang plural. Secara konkret, Boff mengajukan lima jenis etika yang dianggap amat mendesak bagi dunia dewasa ini: Pertama, Etika perhatian, yaitu menyerukan umat manusia untuk saling melihat antara satu dengan yang lain secara positif dan tidak bertendensi kamuflase; kedua, Etika solidaritas, yaitu sikap solidaritas sosial terhadap siapa saja yang dililit kesulitan karena masyarakat mempunyai tanggungjawab moral untuk saling membantu;

Ketiga, Etika tanggung jawab, yaitu mengutamakan sikap tanggungjawab setiap orang terhadap pemikiran, ucapan, dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari; keempat, Etika berdialog, yaitu dialog yang hidup, tulus dan ikhlas tentang kehidupan, ketulusan, kebenaran, dan kebaikan umat manusia yang bertanggungjawab terhadap kehidupan mereka; dan kelima, Etika suci, yaitu etika yang mencakup nilai-nilai kebaikan secara universal yang dapat diterima oleh semua orang dalam setiap kondisi dan tidak dimonopoli oleh satu kelompok semata, (William Chang, 2003).

Penerapan etika mondial ini, pada dasarnya menekankan pada dimensi sosial hidup manusia. Manusia menjadi dirinya karena pengaruh dan ketergantungannya dari pihak lain. Tak perlu mengharapkan suatu masyarakat yang monokultur, monoreligi, dan yang serba monopoli. Justru karena itu, nilai sosial, kesetiakawanan, tanggung jawab, dialog dalam kejujuran dan keterbukaan untuk semua pihak amat diperlukan dalam masyarakat kita.

Akhirnya, meminjam Istilah Goenawan Muhammad, dengan sendirinya buku ini telah menjadi 'tatal' yang pada akhirnya mampu menjadi gerbang awal (book of reference) untuk melakukan reorientasi atas wacana desentralisasi yang selama ini berkembang, bahwa ternyata wacana desentralisasi tidak semata berhubungan dengan perimbangan pengelolaan otoritas, kebijakan fiskal, kelembagaan, dan instrumen hukum antara pusat dan daerah, namun juga terkait erat dengan permasalahan yang berakar pada keanekaragaman sosial, budaya, dan agama.

Lalu, apakah kehadiran buku yang berisi kumpulan artikel para peneliti dan antropolog dari dalam dan luar negeri ini mampu menjadi antitesis (media pembelajaran) bagi masyarakat bangsa ini dari apa yang pernah dikatakan oleh Hegel bahwa: sejarah telah mengajar kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah?

Peresensi adalah Abdul Kholiq, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tolong dibaca terlebih dahulu !

Anda sedang membaca artikel tentang Konflik dan (Re)Orientasi Desentralisasi dan anda bisa menemukan artikel Konflik dan (Re)Orientasi Desentralisasi ini dengan url http://dwiwahyufebrianto.blogspot.com/2011/08/konflik-dan-reorientasi-desentralisasi.html, Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Konflik dan (Re)Orientasi Desentralisasi ini sangat bermanfaat bagi teman-teman Anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link postingan Konflik dan (Re)Orientasi Desentralisasi sebagai sumbernya.

0 komentar:

Posting Komentar